Berpangkat, gagah, dan disegani masyarakat tak pelak membuat pria
yang berprofesi sebagai anggota kepolisian ini angkuh dan lupa dengan
Sang Pencipta. Beliau adalah Aiptu
Rusmieadi, seorang polisi yang bertugas di Unit Reskrim
Polres Klaten, Jawa Tengah.
Cita-cita beliau tak hanya
sebatas menjadi penegak huum yang jujur dan mengabdi pada negara, namun
ada satu cita-cita yang sangat menggetarkan hati. Aiptu Rusmieadi sangata memimpikan untuk membangun sebuah pesantren.
Keinginan tersebut bermula di tahun 2001 ketika ia berkunjung ke Masjid Golo di Kecamatan Bayat. Saat itu ia berkenalan dengan seorang guru yang mulai mengajarkan serta mengenalkannya mengenai arti hidup. Tak hanya itu gurunya tersebut membantunya menjawab semua pertanyaannya selama ini tentang siapa sesungguhnya orang yang dianggap paling benar.
Gurunya mengatakan bahwa hendaknya dirinya jangan sibuk mencari siapa yang paling benar, akan tetapi lebih baik memperbaiki diri sendiri dulu. Sejak itu lah Aiptu Rusmieadi mulai tersadar dan mencoba untuk membangun mentalnya agar lebih baik.
Kesadaran itu akhirnya mulai menyeret Aiptu Rusmieadi pada keinginan untuk membangun
sebuah pesantren. Sedikit demi sedikit gaji bulanan dia sisihkan. Dan
akhirnya, pondok pesantren yang diidam-idamkan terwujud pada 2006.
Pondok pesantren milik pria 54 tahun itu terletak di Dusun Dukuh,
Desa Dukuh, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Jalur menuju ponpes itu ternyata tidak mulus. Terjal berbatu, seperti kerasnya usaha mendirikan pesantren
ini.
Pendirian pesantren itu dimulai setelah gempa Yogyakarta tahun 2006.
Saat itu, Rusmieadi menjadi salah satu warga yang mendapat bantuan. Uang
bantuan inilah yang digunakan Rusmieadi untuk memperbaiki rumah dan
membangun pondok kecil.
Namun, usaha itu tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, keluarga dan kerabat malah
menjadi penentang utama keinginan itu. Rusmieadi sempat bertahan
beberapa tahun. Tapi kemudian memutuskan memindah pesantren ke tengah
sawah. Ke dekat petilasan Syekh Subakir, ulama terkemuka di Tanah Jawa
tempo dulu.
Di mulai dari sebuah gubuk kecil yang dipergunakan untuk musala, Rusmieadi
kemudian membangun pondok pesantren yang baru secara bertahap. Selain
dari sebagian gaji bulanan, Rusmieadi juga mendapat sumbangan dari
sejumlah kawan yang berempati atas perjuangannya. Kini kerja kerasnya tersebut terobati dengan kepuasan dan kebahagiaan hatinya .